Tuesday, June 19, 2007

PEMBAJAKAN (BAGIAN 2)

Pembajak-pembajak di negara ini menurut saya sedikit aneh. Mereka sama sekali tidak memperhatikan kualitas produk mereka, walaupun memang produk-produk tersebut akhirnya dijual dengan sangat murah. Tapi jika saya adalah seorang pembajak, pasti akan saya buat produk saya semirip mungkin dengan barang aslinya dan akan saya jual dengan harga aslinya. Dengan begitu pasti saya akan menjadi kaya jauh lebih cepat. Alasan lain adalah agar keberadaan saya sebagai pembajak sulit terdeteksi oleh aparat. Jika orang tidak menyadari bahwa produk saya adalah produk bajakan, maka sayapun akan aman. Itulah yang terjadi di luar negeri. Produk bajakan di luar negeri sulit dibedakan secara visual dengan aslinya. Berbeda dengan di sini. Mudah sekali membedakan antara produk asli dengan bajakan. Lihat saja kemasannya. Sebuah cd hanya ditempatkan pada sebuah plastik tanpa ada hardcase sebagai pelindung. Padahal cd adalah barang yang cukup rentan, baik terhadap benturan maupun goresan.

Itulah bedanya pembajakan di negara-negara maju dibandingkan dengan di negara-negara berkembang. Pembajakan di negara-negara maju menggunakan penipuan sebagai modus. Mereka harus menipu masyarakat agar mengira produk bajakan mereka adalah produk yang asli. Warga mereka tidak mau menggunakan atau membeli produk kelas 2. Dan mereka cukup pintar untuk membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Jadi para pembajak benar-benar dipaksa untuk memutar otak untuk membuat produk bajakan mereka serupa dengan produk aslinya tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Lain halnya dengan di sini. Di sini, orang membeli produk bajakan dengan kesadaran penuh. Pembajak tidak perlu susah-susah memiripkan produk mereka dengan produk aslinya, karena pada akhirnya para konsumen pasti tahu mana yang asli dan mana yang bajakan. Tidak seperti masyarakat di negara-negara maju, masyarakat kita tidak keberatan membeli produk kelas 2, kelas 3 atau bahkan kelas 10 sekalipun. Alasannya sederhana, karena harganya yang lebih murah. Mereka (atau kita) cukup pandai untuk menyadari bahwa kualitas barang bajakan tidak sebagus yang aslinya. Tapi tetap saja resiko itu diambil dengan alasan pengeluaran yang lebih sedikit. Jadi para pembajak di sini tidak menggunakan penipuan sebagai modus. Mereka menggunakan modus pemberian pilihan. Mereka tidak berusaha menghalangi kita untuk membeli produk original. Mereka cuma memberikan pilihan yang lain. “Kalau mau beli barang bagus yang mahal ya silahkan. Tapi kalau nggak mau ngeluarin duit banyak, ya beli barang saya saja”. Mungkin kira-kira begitu kata para pembajak di sini. Dengan kata lain, para pembajak di sini memanfaatkan kondisi ekonomi masyarakat kita dalam menjalankan usahanya.

Seperti yang sudah saya sebutkan di bagian sebelumnya, sepertinya sia-sia saja membujuk masyarakat untuk tidak membeli produk bajakan. Karena selama produk bajakan masih ada di pasaran dan lebih mudah untuk didapatkan serta lebih murah harganya, orang akan tetap membelinya. Meskipun mereka sadar kualitas yang didapat tidak akan menyamai produk original. Sekali lagi, ini bukan mengenai penghargaan terhadap suatu karya, tetapi mengenai pilihan yang lebih mudah. Orang bukannya tidak menghargai suatu karya, mereka cuma ingin mendapatkan pilihan yang lebih murah dan lebih mudah dijangkau. Dalam hal ini masyarakat pembeli produk bajakan juga merupakan korban pembajakan karena merekalah pasar tujuan produk bajakan. Walaupun bisa dikatakan bahwa mereka menjadi korban dengan sadar dan sukarela. Jadi, menggantungkan pemberantasan pembajakan kepada masyarakat yang notabene juga korban adalah hal yang kurang masuk akal. Katakanlah ada orang-orang yang benar-benar peduli terhadap pembajakan dan menolak produk-produk bajakan, pasti jumlahnya sangat sedikit. Dan dasar mereka bukan penghargaan terhadap suatu karya, melainkan kualitas produk. Mereka ingin membeli dan mempunyai produk yang berkulaitas. Sekali lagi, jika tidak menghargai tidak perlu beli ‘kan?

Jadi kalau pemberantasan pembajakan bukan dimulai dari masyarakat, lalu dari siapa? Apakah dari pembajak itu sendiri? Dalam arti bukan konsumennya yang disuruh berhenti membeli tapi pembajaknya yang disuruh berhenti membajak, dengan jalan hukum tentu saja. Saya juga sudah singgung sebelumnya bahwa pembajakan bisa terjadi karena ada celah dan kesempatan. Dalam hal ini celahnya adalah tingginya harga produk original dan terbatasnya produk original tersebut dipasaran. Sementara di sisi lain, selalu ada demand dari masyarakat. Jika kondisi seperti ini dipertahankan, pembajakan akan selalu ada. Lepas dari bagaimanapun kerasnya hukum ditegakkan. Lalu, apakah berarti yang salah pihak produsen karena memasang harga terlalu tinggi? Coba kita pikir sebentar. Pihak produsen jelas ingin mencari untung dengan menjual produk mereka. Dan ini bukan tanpa perhitungan. Mereka jelas telah memperhitungkan biaya produksi, promosi, cukai, distribusi dan biaya yang lainnya. Dan pasti mereka ingin penjualan produk mereka nantinya akan dapat menutup semua biaya yang telah dikeluarkan. Jadi, harga produk original di pasaran yang mahal tersebut sebenarnya sudah melalui proses kalkulasi yang panjang. Dan melihat perkembangan sekarang, sepertinya sulit untuk menurunkan harga produk original. Karena biaya produksi dan lain-lain bukannya semakin menurun, malah semakin tinggi. Dan jika kita mau jujur, sebenarnya perusahaan-perusahaan rekamanlah yang banyak merugi karena turunnya daya beli masyarakat kita beberapa tahun belakangan ini. Ini jugalah yang menjadi salah satu alasan kenapa masyarakat yang tadinya membeli produk asli beralih ke produk bajakan.

Jika pemberantasan pembajakan bukan dimulai dari konsumen, bukan juga dari pihak produsen, bahkan bukan juga dari si pembajak itu sendiri, lalu dari siapa lagi? Saya rasa tinggal satu jawaban yang masuk akal. Yaitu pemerintah. Kenapa? Jelas karena pemerintahlah yang bertugas menjalankan negara ini, mengontrol semua yang terjadi dan mengatasi masalah yang muncul. Saya tidak bermaksud menyalahkan pemerintah, karena pemerintah sudah punya banyak masalah. Maksud saya adalah, kunci dari pemecahan masalah pembajakan ini adalah peran aktif dan serius pemerintah. Buatlah kebijakan yang tidak membebani para pemegang hak cipta agar mereka tidak perlu memasang harga yang sulit dijangkau masyarakat.

Usaha untuk memberantas pembajakan adalah perjuangan yang sangat panjang bagi masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum dan siapapun yang terlibat. Saya pribadi berpendapat bahwa sekarang tidak ada hal signifikan yang bisa dan akan dilakukan pemerintah untuk memberantas pembajakan. Untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan para pembajak mungkin masih bisa berkarya dengan cukup tenang karena mereka bukanlah fokus masalah pemerintah saat ini. Pamor para pembajak sebagai pelanggar hukum masih kalah jauh dibandingkan pamor para peledak bom yang akhir-akhir ini semakin beken. Terorisme adalah fokus utama masalah pemerintah sekarang.

Itu bukan berarti perjuangan untuk memberantas pembajakan harus terhenti. Saran saya kepada para artis dan pemegang lisensi yang selama ini giat berkampanye untuk memberantas pembajakan adalah : alihkan sasaran ke pemerintah. Berusahalah meyakinkan pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih kondusif. Tentu saja boleh menghimbau masyarakat untuk tidak membeli produk bajakan, atau melakukan razia dan penangkapan terhadap para pembajak. Tapi sekali lagi kuncinya adalah pemerintah. Jika pemerintah tidak mengubah kebijakan yang ada, jangan harap pembajakan akan hilang begitu saja.

PEMBAJAKAN

Kita semua tahu jika pembajakan berkembang dengan subur di negara ini. Saking suburnya sampai-sampai sangat sulit bagi kita untuk memberantasnya. Mungkin pembajakan di Indonesia hampir bisa disamakan dengan korupsi, melihat dari betapa maraknya hal itu terjadi. Seperti halnya korupsi yang sudah terjadi selama puluhan tahun di Indonesia, begitu pula pembajakan. Pembajakan mungkin pertama kali terjadi sekitar tahun 60-an dan 70-an dimana produk yang sering dibajak saat itu adalah piringan hitam dan kaset. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, produk bajakan mulai mengalami "diversifikasi". Pada tahun 80-an mulai muncul versi bajakan dari produk-produk video berformat vhs dan semacamnya. Dan beberapa tahun belakangan ini mungkin adalah tahun-tahun keemasan bagi para pembajak dengan semakin familiarnya teknologi digital di masyarakat. Dengan teknologi digital jaman sekarang, bahkan anak SMP pun bisa melakukan pembajakan jika mereka mau. Kalau kita melihat bagaimana pembajakan berkembang di jaman sekarang, kita akan menemukan banyak sekali jenis produk yang menjadi korban pembajakan, dengan berbagai macam format pula. Dari mulai kaset pita berisi lagu-lagu, cd audio, cd mp3, vcd, dvd bahkan software-software impor pun juga ikut dibajak ke dalam keping cd atau dvd.

Dengan maksud melawan maraknya pembajakan, akhir-akhir ini banyak pihak yang merasa dirugikan mulai berkampanye. Dalam hal ini pihak yang dirugikan adalah artis atau perusahaan pemegang lisensi produk yang dibajak tersebut. Mereka bekerjasama dengan pemerintah dan aparat dalam berkampanye, melakukan inspeksi-inspeksi mendadak ke gerai-gerai yang disinyalir berisi produk bajakan. Dan yang paling gencar adalah mjenghimbau masyarakat untuk tidak membeli produk bajakan. Mereka (para artis dan pemegang lisensi) seolah-olah mengatakan kepada kita bahwa jika kita membeli produk bajakan, berarti kita sama jahatnya dengan para pembajak itu dan bahwa kita tidak menghargai artis tersebut. Ini yang saya tidaka setuju. Orang membeli produk bajakan bukan berarti karena mereka tidak menghargai si artis atau pemegang lisensi terebut. Justru sebaliknya. Mereka membeli produk bajakan karena mereka menyukai atau membutuhkan produk tersebut. Bukannya tidak menghargai. Lalu kenapa tidak membeli produk yang original? Jawabannya jelas : karena ketersediaannnya yang sangat terbatas dan harganya yang berkali-kali lipat lebih mahal ketimbang produk bajakan. Padahal produk bajakan 'kan kualitasnya lebih jelek? Perlu diingat bahwa sebagian besar masyarakat kita adalah masyarakat yang tingkat kekritisannya terhadap produk-produk konsumtif masih kurang. Mereka tidak akan mengetahui dan menyadari bahwa lagu-lagu mp3 bajakan memiliki suara yang jauh lebih tumpul dibandingkan produk dengan format cd audio original. Kenapa? Karena player yang mereka gunakan adalah player kelas rendah yang repro suaranya tidak detail. Dan ini semua juga berdasarkan pada daya beli masyarakat kita, yang rasanya tidak perlu dijelaskan lagi. Intinya, mereka sudah puas dengan kualitas produk bajakan daripada harus membeli produk original yang mahal.

Satu contoh kasus lagi. Katakanlah si A, adalah penggemar berat Band B. Dia ingin sekali memiliki album terbaru dari Band B tersebut. Hanya ada satu masalah. Si A tinggal di daerah pedalaman Papua. Dia mendengarkan lagu-lagu Band B cuma lewat RRI. Karena ingin sekali memiliki album terbaru Band B, dia rela menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer ke kota atau bahkan kecamatan terdekat untuk membeli album Band B. Sesampainya di kota, dia mulai mencari tempat yang menjual album tersebut. Setelah bersusah payah mencari, akhirnya dia menemukan tempat yang menjualnya, di pasar. Dikeluarkannya uang Rp. 5000,- dan diterimanya album tersebut dengan senang hati. Mungkin saja dia tahu bahwa itu adalah barang bajakan, mungkin juga tidak. Yang jelas dia sangat senang karena bisa selalu mendengarkan lagu-lagu terbaru dari band favoritnya di rumah.

Saya yakin contoh kasus di atas bisa mewakili banyak sekali kejadian yang sama dan benar-benar terjadi di negara ini. Katakanlah si A sebenarnya ingin sekali membeli produk yang original. Kemungkinan besar dia tidak akan bisa mendapatkannya. Kenapa? Karena memang album yang original tidak terdistribusikan sampai ke wilayah yang terpencil. Kenapa? Karena pihak distributor atau label rekaman...tidak mau melakukannya!! Kenapa? Karena butuh biaya banyak sekali untuk mendistribusikan produk tersebut ke tempat yang terpencil. Apalagi negara kita adalah negara kepulauan. Biaya transportasi, cukai dan lain sebagainya akan membengkak. Dan kalaupun semua itu dilakukan, belum tentu mereka (distributor/label) bisa meraup untung. Karena yang membeli paling cuma satu atau dua orang saja. Tidak akan ada BEP. Mendekati pun tidak! Jadi mengapa dilakukan? Biar saja daereh tersebut tidak terdistribusi. Tindakan ini menurut saya sangat bisa dipahami dan sah-sah saja. Karena bisnis adalah bisnis. Tidak usah dilakukan jika tidak ada untungnya.

Di sinilah para pembajak melihat kesempatan bisnis. Mereka tahu daerah tersebut tidak terdistribusi dengan baik dan mereka pun memanfaatkannya. Mereka berani melakukan itu karena memang tiu menguntungkan buat mereka. Para pembajak mengeluarkan dana yang jauh lebih sedikit untuk memproduksi barang-barang bajakan mereka. Mereka tidak menanggung biaya rekaman, biaya promosi, biaya cukai, karena itu semua sudah dilakukan oleh pihak produsen resmi. Modal mereka paling cuma beberapa buah cd yang asli sebagai master, beratus-ratus atau beribu-ribu cd kososng kualitas rendahan dan mesin duplikasi, yang paling cuma berupa cpu komputer dengan beberapa cd writer. Dengan modal itu para pembajak bisa mendapatkan untung dengan menjual produk-produk mereka. Mereka berani memasarkan produknya ke daerah terpencil karena biaya yang meraka butuhkan untuk melakukannya tidak begitu besar. Dan mereka masih bisa meraih keuntungan. Secara bisnis, inipun bisa dipahami karena para pembajak tersebut melihat celah bisnis yang bisa mereka masuki. Tentu saja itu lepas dari fakta bahwa yang mereka lakukan adalah ilegal. Ingat, kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan.

Jadi tidaklah benar jika membeli produk bajakan adalah bentuk dari ketidakpedulian terhadap karya dan hak orang lain. Kalau kita tidak peduli dan tidak menghargai, kita tidak akan membeli produk tersebut, bukan? Membeli produk bajakan adalah pilihan yang lebih mudah. Sesederhana itu.

Friday, June 8, 2007

A Girl's Loyalty

Aku barusan chatting sama kenalanku. Cewek. Gak pernah ketemu sih, cuma chatting through the net aja. Kebetulan dia kenal temen kuliahku dulu. Cewek juga. Mereka ketemu waktu nyari kerja dan katanya langsung nyambung karena punya nasib yang sama, yaitu punya cowok yang berada overseas.

Ini mengingatkanku waktu kuliah dulu. Mungkin 4-5 tahun yang lalu. Waktu itu, si cewek temen kuliahku ini mulai sering cerita ke anak-anak (aku dan temen-temen kuliah yang lain), bahwa dia punya kenalan seorang cowok dari somewhere in south america. Dia mengenalnya lewat internet, yang adalah sangat wajar saat itu soalnya itu adalah saat-saat euphoria internet. Banyak orang (termasuk aku) menghabiskan berjam-jam di warnet untuk chatting atau sekedar browsing aja. Bahkan aku pernah menghabiskan sekitar 5 jam untuk sekedar chatting! Namanya juga euphoria.
Apalagi temenku itu kerja part-time di warnet, jadi dia punya banyak waktu untuk in contact dengan temen cowoknya itu.

Sekian waktu berlalu. Temen kuliahku itu masih sering cerita tentang hubungannya dengan temen online-nya itu. Tapi, bukan lagi kata "teman" yang dipake, melainkan "pacar". Yeap! Dia cerita ke anak-anak kalo akhirnya mereka pacaran.

Jujur nih yaaaa....mohon yang bersangkutan jangan marah. Yang aku pikir saat itu adalah, "get real,girl!!pacaran lewat internet?!you're dreaming!and if you're not, it won't last a month!".
Well, gitu deh kira-kira pikiranku saat itu. Bukan bermaksud mencela atau menghakimi atau apapun sih. Cuma mungkin skeptis aja. Sebenarnya yang paling ngebuat aku gak habis pikir adalah ini...pacaran berarti menjalin komitmen, berkomitmen berarti harus ada rasa percaya..."How the hell can you trust someone that you have never met?!not even once!". Yang selama ini bisa dilihat cuma ketikannnya lewat monitor komputer. Gak masuk akal buatku. At all!! Aku nggak memungkiri bahwa pendapatku ini mungkin dipicu karena kondisiku sendiri. Aku aja setengah mati berusaha mempertahankan hubungan yang kumiliki saat itu. Padahal kami tinggal sekota! Aku yang tinggal sekota aja pusing, masa dia berani menjalani hubungan dengan orang yang sama sekali belum pernah ketemu? Itu yang gak masuk akal.

Well...time went on. Ada satu lagi temenku cewek yang mengalami hal yang sama. Kali ini pacarnya adalah orang amerika. Pendapatku juga sama, agak-agak skeptis gitu. Tapi terus si amerika ini mulai ngirimi temenku itu barang2. Ada jaket, kamera digital, dan yang aku ingat terakhir adalah sebuah laptop dan uang beberapa juta rupiah! Gila! Well, dengan sedikit memanfaatkan keadaan, aku bahkan pernah nitip dibeliin cerutu sama dia lewat temenku itu. Mumpung! Lumayanlah...I finally smoked some real american cigars!! Tapi kebingungan baru malandaku. Apa yang dipikirin si cowok ini sih?! Ngasih barang-barang dan uang ke seorang cewek yang cuma ketemu lewat internet. Yah, mungkin juga pernah telepon sekali-dua kali. But that's it! Is he crazy or what?! Aku masih menganggap itu semua gak masuk akal. Masa bisa sih kita percaya sama orang yang kita sama sekali belum pernah ketemu?

Tapi, lalu aku mulai berpikir. Mungkin aja bisa. Mungkin aja kita bisa percaya sama orang yang kita belum pernah ketemu. Kalo memang iya, it's a new thing for me. Time to learn, boy! Kembali ke temenku cewek yang pertama tadi. Masih ada ganjalan di hati dan pikiranku. Masa dia gak takut kalo cowoknya itu ternyata gak serius atau cuma mainin dia aja. After all, with someone you have never met, you can play her or him whatever you want, right? Tapi ternyata kayaknya temenku itu gak peduli, atau gak kepikiran. Kayaknya dia manteb-manteb aja. Dan yang paling mengherankan sekaligus menakjubkan adalah...she deeply loyal!!! Paling tidak itu yang aku tahu. Gak pernah seneng sama cowok laen. The only boy she had ever talked about seriously is the one overseas, the cyber boy. Amazing.

Somethin crossed my mind just now. When a woman has committed herself to something or someone, it is as solid as a mountain. You can't buy a woman's loyalty once she's committed. Yang harus dilakukan cewek adalah mencari seseorang atau sesuatu yang TEPAT dimana komitmen mereka bisa benar-benar solid. Kira-kira gitu deh.

Beberapa waktu yang lalu pacar temenku cewek yang pertama tadi datang ke Indonesia untuk, tentu saja mengunjungi temenku. Oh iya, si cowok itu dari Bolivia. Hmmmm....semua kekhawatiran dan keraguanku sama sekali gak terbukti. Buat apa dia jauh-jauh dari Bolivia ke Indonesia kalo dia gak serius sama temenku itu? Bahkan berita terakhir langsung dari temenku sendiri, mereka akan menikah tahun depan. Nice. I guess she has to live in Bolivia then. That's okay I guess.

Well, let's hope that they will have a wonderful ever-lasting marriage.

Wednesday, June 6, 2007

P e r s a h a b a t a n

Hmmm...persahabatan...apa sih persahabatan itu?
Well...aku gak tahu pendapat kalian, tapi menurutku persahabatan adalah hubungan yang paling menyenangkan. Dan aku yakin hubungan lain apapun yang didasari oleh persahabatan yang solid pasti akan menjadi hubungan yang baik. Tidak perduli apakah itu hubungan kekasih, suami istri, kakak-adik,orang tua-anak, bahkan hubungan profesional dalam dunia kerja pun akan jadi hubungan yang baik jika landasannya adalah persahabatan.

Yang paling penting dari bersahabat adalah berarti kita bisa menghargai satu sama lain secara tulus dan ikhlas. Menghargai segala perbedaan, kelebihan dan kekurangan yang kita miliki. Menghargai sudah tentu juga berarti bisa menerima apapun keadaan sahabat kita.

Memang tidak semua orang bisa bersahabat dengan kita. Karena salah satu hal yang juga penting dalam menjalin persahabatan adalah chemistry. Perasaan bahwa kita "klik" dengan orang tersebut. Dan perasaan itu tidak selalu datang dengan cepat. Terkadang perlu proses yang lama sebelum kita menyadari kalau ada chemistry antara kita dan orang tersebut.

Aku punya banyak orang yang kuanggap sebagai sahabat. Apa patokannya orang tersebut masuk dalam kategori sahabat? Sederhana saja. Fairness. Jika aku bisa berlaku fair terhadap orang tersebut dan aku juga percaya bahwa dia juga bisa berlaku fair terhadapku, berarti dia bisa kuanggap sahabatku. Fairness bisa berarti banyak hal. Itu bisa berarti keterbukaan. Bisa berarti keikhlasan dan ketulusan. Fairness berarti bisa dan berani mengakui jika sahabat kita benar dan kita salah. Fairness berarti berani menegur sahabat kita demi kebaikan bersama. Fairnes berarti ikhlas dan tulus menerima kritik dan masukan demi kebaikan bersama.

Jadi memang tidak semua orang orang bisa jadi sahabat, karena tidak semua orang bisa berlaku fair. Kebanyakan sahabatku merupakan orang-orang yang telah mengenalku bertahun-tahun. Bahkan beberapa, yang kuanggap paling dekat, sudah berteman denganku lebih dari 10 tahun. Ini adalah persahabatan yang bukan main-main. Jarang ada konflik, karena kami tahu karakter dan porsi masing-masing.

Itu salah satu pendapatku tentang persahabatan. Mungkin akan ada pendapat-pendapat yang lain, we'll see...

Hmmmmm....
Well....i believe best friends last forever....so don't ruin your friendship...